Kisah Sejarah Kerajaan Mataram Perihal Pelajaran Moral
Bukti Peninggalan Kerajaan Kekuasaan Mataram |
Di bawah Sultan
Agung, Mataram berhasil mengangkat dirinya sebagai kerajaan yang mampu
mengobrak-abrik kesombongan Kompeni. Hampir seluruh tanah Jawa dapat 176
disatukan. Kekuasaannya menjangkau ke Sumatra, yakni Palembang dan Jambi, serta
ke Kalimantan, yakni Banjarmasin. Namun, setelah Sultan Agung wafat, wibawa Mataram
mulai melorot. Tahun 1645 Sultan Agung meninggal dunia dan dimakamkan di Imogiri,
dekat Yogyakarta. Tahun itu juga, putranya, Pangeran Aria Prabu Adi Mataram,dinobatkan
menjadi raja dengan gelar Sultan Amangkurat I. Berbeda dari sifat ayahnya, Amangkurat
I lebih suka hidup berfoya-foya. Kesempatan sebagai penguasa dimanfaatkan untuk
meneguk kemewahan dan kesenangan. Kompeni Belanda yang dahulu dibenci
ayahandanya, malah dirangkulnya. Kompeni Belanda dengan kekuatan dan
kekayaannya telah memberikan berbagai keindahan dunia berupa minuman keras dan
benda-benda perhiasan yang memabukkan. Untuk mengamankan kekuasaannya,
Amangkurat I menjalin perjanjian dengan Kompeni. Supaya aman ia harus
membungkam orang atau para tokoh yang dianggapnya berbahaya. Adik kandungnya,
Pangeran Alit, dibinasakannya. Iparnya, bupati Madura, Cakraningrat I, juga
mengalami nasib yang sama. Yang lebih mengerikan adalah tindakannya sesudah
selirnya yang tercantik, Ratu Malang, meninggal secara mendadak. Ia menuduh,
kematian itu akibat diracun oleh salah seorang atau beberapa selir saingannya.
Maka sebanyak 43 orang selir yang berusia masih muda-muda dibinasakan hanya
dalam waktu sehari saja. Dan, atas tuduhan yang tidak berdasar, segenap
keluarga Pangeran Pekik, nenek Adipati Anom, anaknya, juga dibinasakan sampai
tidak tersisa.
Tentu saja
keresahan mulai merebak. Ketidakpuasan berkembang subur. Suara-suara ketidakdilan
makin bermunculan. Menurut para penasihat raja, suasana seperti itu akan berbahaya
jika dibiarkan merebak. Maka harus dicari penyelesaiannya yang cepat dan
tuntas. Dibisikkan kepada Amangkurat I, para ulamalah yang bertanggung jawab
atas semua ketidaktenangan itu. Merekalah yang paling gigih meneriakkan
tuntutan kebenaran dan kejujuran. Jadi, para ulama yang dinilai sangat keras
hati perlu dibinasakan. Terjadilah kemudian malapetaka itu. Sebanyak 6.000
orang ulama tidak berdosa dikumpulkan di lapangan, dan dibantai hanya dalam
tempo satu jam. Dengan demikian, Amangkurat I merasa bebas merdeka untuk
berjabat tangan dan berpelukan mesra dengan Kompeni Belanda. Tidak ada lagi
yang berani menegur atau menasihatinya. Namun, tidak semua bangsawan menyetujui
tindakan sewenang-wenang itu. Masih banyak kaum ningrat yang menyatu dengan
rakyat. Tekad pun menyatu. Tekad rakyat, tekad para menak, tekad para penegak
keadilan, semua menyatu, menjadi semangat perlawanan terhadap kezaliman dan
kesewenang-wenangan. Bangkitlah seorang pemuda dari lingkungan istana
Cakraningrat I. Ia bernama Trunojoyo, cucu Prabu Cakraningrat I dari Madura.
Dengan semangat memperjuangkan kebenaran dan melawan kelaliman, Trunojoyo
mengobarkan pemberontakan, dibantu oleh Karaeng Galesong dari Makasar.
Trunojoyo beserta pasukannya berjaya memasuki Mataram. Amangkurat I melarikan
diri menyusuri pantai Jawa, akhirnya meninggal dunia di Tegal Arum dalam
keadaan nista dan sengsara. (Dikutip dari: 30 Kisah Teladan, 1991).
Dari kisah
tersebut di atas apakah Anda berpendapat bahwa Amangkurat I merupakan seorang
pemimpin yang baik? Apakah memiliki kualitas moral yang baik? Bagaimana jika
seorang pemimpin, kualitas moralnya buruk? Apa yang akan terjadi?
Mari kita
perhatikan pengertian moral yang kita maksudkan. Moral adalah ajaran tentang
baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan
sebagainya. Istilah lain untuk moral adalah akhlak, budi pekerti, susila.
Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk. Pemimpin yang bermoral
berarti pemimpin yang berakhlak baik. Bagi kita yang terpenting adalah mampu
mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa para pemimpin yang lalim
dan tidak bermoral itu. Sejarah mencatat semua pemimpin yang zalim dan tidak
bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir
hayatnya memperoleh kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya meninggal di
tempat pelarian dengan amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang amat “tiran”
dari Prancis, mati di-guillotine (pisau pemotong hewan) oleh massa,
Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum racun.
Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang
pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan
berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain
bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.
Komentar
Posting Komentar